Teknologi

Apakah Google AI Mencuri Konten?

Pernahkah kamu mencari sesuatu di Google dan langsung mendapatkan jawaban rapi di atas halaman hasil pencarian? Itu adalah keajaiban AI Overviews, fitur baru Google yang didukung model AI canggih bernama Gemini. Sekilas, ini seperti asisten pintar yang membuat hidup lebih mudah: tanya apa saja, jawaban muncul dalam hitungan detik. Tapi, tunggu dulu. Sebagai blogger kecil yang susah payah menulis artikel, saya mulai curiga: dari mana Google mendapatkan jawaban itu? Apakah mereka “meminjam” konten dari blog-blog seperti milik saya tanpa memberi imbalan yang adil? Atau lebih buruk lagi, apakah Google AI sedang “mencuri” kerja keras kita? Dan jika iya, apa artinya untuk masa depan penulis independen di Indonesia? Mari kita kupas isu ini dengan sedikit rasa kesal, tapi juga harapan bahwa kita masih punya kuasa untuk melawan.

Cara Kerja AI Google: Pintar, Tapi Licik?

Bayangkan ini: kamu menulis artikel panjang tentang “cara membuat blog sukses di Indonesia”. Kamu habiskan berjam-jam meneliti, mengetik, dan memoles kata-kata. Tapi, ketika seseorang mencari topik itu di Google, mereka tidak sampai ke blogmu. Sebaliknya, mereka melihat kotak kecil di atas hasil pencarian yang merangkum poin-poin utamamu—tanpa perlu mengklik link ke situsmu. Selamat datang di dunia AI Overviews. Fitur ini mengambil informasi dari berbagai situs, termasuk blog kecil seperti milikmu, lalu menyajikannya dalam ringkasan yang rapi. Hasilnya? Menurut studi dari Amsive pada 2025, 69% pengguna Google tidak lagi mengklik situs asli setelah melihat ringkasan ini. Artinya, kerja kerasmu jadi bahan bakar AI Google, tapi kamu tidak dapat apa-apa: tidak ada pengunjung, tidak ada komentar, tidak ada penghasilan iklan.

Apakah ini adil? Bagi Google, mungkin ini cuma “inovasi”. Mereka bilang AI Overviews membantu pengguna menemukan informasi lebih cepat. Tapi, bagi blogger seperti kita, ini terasa seperti seseorang masuk ke dapur kita, mengambil resep masakan terbaik, lalu membagikannya gratis tanpa menyebut nama kita. Google memang kadang mencantumkan sumber, tapi seringkali cuma nama domain kecil di sudut, yang jarang diklik. Dan yang lebih menyebalkan, mereka punya kekuatan untuk memilih situs mana yang “layak” dirangkum. Situs besar seperti Wikipedia atau media ternama selalu menang, sementara blog kecil di Indonesia? Yah, kita cuma jadi penutup.

“Google AI mengambil konten kita tanpa memberikan kredit yang layak. Ini seperti menulis buku, tapi cuma ringkasannya yang dibaca orang, dan penulisnya dilupakan.”

Apakah Ini Benar-Benar “Pencurian”?

Kata “mencuri” mungkin terdengar keras, tapi mari kita pikirkan. Ketika Google AI mengambil poin-poin dari artikelmu, merangkumnya, dan menyajikannya tanpa mengarahkan pengguna ke blogmu, apa bedanya dengan mengambil karya seseorang tanpa izin? Secara hukum, Google berlindung di balik istilah “penggunaan wajar” di Amerika. Mereka bilang mereka tidak menyalin artikelmu secara utuh, hanya “mengubah” jadi ringkasan. Tapi, coba tanya blogger yang kehilangan 30% trafik karena AI Overviews—apakah ini terasa wajar? Menurut Raptive, fitur ini bisa membuat penerbit kehilangan pendapatan iklan hingga 2 miliar dolar setahun. Bayangkan berapa banyak blog kecil di Indonesia yang terpaksa tutup karena tidak lagi dilirik pembaca.

Yang lebih mengganggu, Google tidak terlalu transparan soal cara kerja AI mereka. Bagaimana mereka memilih situs untuk dirangkum? Mengapa blog besar selalu menang, sementara kita, yang menulis dengan penuh semangat, cuma jadi penutup? Beberapa penerbit besar, seperti News/Media Alliance, bahkan sudah menggugat Google karena dianggap melanggar hak cipta. Mereka bilang Google “mencuri” konten dengan menggunakan artikel tanpa kompensasi yang adil. Jadi, kalau para raksasa media saja merasa dirampok, bayangkan apa yang dirasakan blogger kecil seperti kita, yang cuma punya semangat dan laptop tua untuk bertarung.

Bahaya Lebih Besar: Monopoli Informasi

Kalau kita tarik lebih jauh, masalah ini bukan cuma soal trafik atau iklan. Ada bahaya yang lebih besar di balik AI Overviews: Google sedang menjadi “penjaga gerbang” informasi dunia. Bayangkan suatu hari Google punya database jawaban untuk semua pertanyaan—dari “cara membuat martabak” sampai “siapa presiden Indonesia berikutnya”. Dengan data yang sudah mereka kumpulkan dari jutaan situs, mereka bisa saja berhenti mengandalkan blog kita. Lebih buruk lagi, dengan kemampuan AI generatif seperti Gemini, Google bisa mulai “mengarang” jawaban sendiri tanpa perlu sumber asli. Dan karena miliaran orang percaya buta pada Google, mereka akan menelan mentah-mentah apa yang disajikan.

Ini bukan khayalan. Di X, banyak pengguna sudah mengeluh bahwa AI Overviews kadang memberikan jawaban yang keliru atau terlalu sederhana, tapi tetap dianggap “benar” karena berasal dari Google. Misalnya, pernah ada kasus di 2024 di mana AI Google memberikan saran berbahaya karena salah menafsirkan konten web. Kalau Google mulai membuat jawaban sendiri, apa jadinya kalau mereka salah atau sengaja memihak pada sudut pandang tertentu? Di Indonesia, di mana akses internet semakin meluas, ketergantungan pada Google bisa membuat kita kehilangan narasi lokal—cerita dari blogger kecil, pengusaha lokal, atau komunitas yang tidak punya suara besar.

“Jika Google bisa ‘mengarang’ jawaban sendiri, apa jadinya suara blogger kecil seperti kita? Apakah cerita lokal Indonesia akan tenggelam di balik ringkasan AI?”

Mengapa Ini Pahit untuk Blogger Indonesia?

Sebagai blogger di Indonesia, saya merasakan betul betapa sulitnya bersaing di era AI Google. Blog saya baru berjalan beberapa bulan, dan pengunjung bisa dihitung dengan jari. Saya menulis untuk menjaga otak tetap aktif, tapi kadang rasanya seperti berteriak di tengah hutan: tidak ada yang mendengar. AI Overviews membuatnya lebih sulit, karena pengguna di Indonesia, yang sering mencari jawaban cepat di ponsel, jarang mengklik link ke blog kecil. Menurut data, lebih dari 60% pengguna internet di Indonesia mengandalkan Google untuk informasi sehari-hari. Kalau Google terus “meminjam” konten kita tanpa imbalan, blogger seperti kita—yang menulis tentang budaya lokal, pengalaman komunitas, atau pandangan unik—bisa perlahan menghilang.

Yang lebih menyebalkan, Google seolah memaksa kita untuk menulis topik yang “spesifik” atau “unik” agar bisa dilirik. Pernah dengar saran seperti “tulis pengalaman pribadi” atau “fokus pada topik lokal”? Itu karena AI Google sulit merangkum cerita yang sangat khusus, seperti “pengalaman mengajar coding di kampung Jawa Tengah”. Tapi, ini terasa seperti jebakan: kita dipaksa menyesuaikan diri dengan algoritma mereka, bukan menulis apa yang benar-benar kita inginkan. Dan bahkan kalau kita menulis topik unik, belum tentu Google akan mengarahkan pengunjung ke blog kita. Jadi, kita seperti buruh yang bekerja untuk Google tanpa bayaran.

Apa yang Bisa Kita Lakukan?

Sekarang, mari kita tarik napas dan lihat sisi optimisnya. Meskipun Google AI terasa seperti raksasa yang tak terkalahkan, kita sebagai blogger kecil masih punya kuasa untuk melawan. Pertama, kita bisa terus menulis dengan semangat. Blog bukan cuma soal trafik—ini soal menyuarakan ide, berbagi cerita, dan membangun komunitas. Setiap artikel yang kamu tulis, meski cuma dibaca lima orang, adalah kemenangan kecil melawan monopoli informasi.

Kedua, kita bisa memanfaatkan platform di luar Google. X, misalnya, adalah tempat di mana kamu bisa berbagi artikel dan berdiskusi langsung dengan pembaca. Coba posting sesuatu seperti: “Google AI ambil konten kita tanpa kredit? Ini pandanganku: [link].” Di Instagram, buat visual sederhana dengan kutipan dari artikelmu, seperti: “Google AI bikin blogging susah, tapi kita tidak menyerah!” Di Indonesia, komunitas seperti grup WhatsApp atau Telegram untuk blogger juga bisa jadi tempat untuk berbagi dan mendukung satu sama lain.

Ketiga, mari edukasi pembaca kita. Tambahkan kalimat di artikelmu yang mengajak mereka berpikir kritis, seperti: “Jangan cuma percaya ringkasan Google—baca sumber aslinya dan bandingkan!” Kita bisa mendorong orang untuk mencari informasi dari blog lokal, media independen, atau platform seperti X, di mana suara asli masih terdengar. Dan yang terpenting, teruslah menulis tentang isu-isu seperti ini. Artikel ini adalah bukti bahwa blogger kecil bisa menyuarakan kekhawatiran besar—tentang Google, AI, atau apa pun yang mengganggu kita.

Penutup: Kita Masih Punya Harapan

Jadi, apakah Google AI mencuri konten kita? Dalam hati, saya bilang iya—mungkin bukan pencurian dalam arti hukum, tapi pasti dalam arti etika. Mereka mengambil kerja keras kita, merangkumnya, dan meninggalkan kita dengan blog yang sepi pengunjung. Lebih buruk lagi, mereka punya potensi untuk mengontrol apa yang dipercaya dunia, dari Jakarta sampai New York. Tapi, saya tidak mau berhenti di sini dengan nada pesimis. Kita, blogger kecil, adalah tulang punggung internet yang sesungguhnya. Tanpa kita, Google tidak akan punya konten untuk dirangkum. Tanpa kita, cerita lokal Indonesia—dari pasar tradisional sampai startup di kota kecil—tidak akan terdengar.

Jadi, mari terus menulis. Tulis apa yang kamu suka, apa yang membuat otakmu hidup, apa yang membuatmu bangga. Promosikan di X, Instagram, atau grup temanmu. Ajak pembaca untuk tidak hanya menelan jawaban Google, tapi mencari tahu sendiri. Dan siapa tahu, mungkin suatu hari, suara kecil kita akan cukup keras untuk membuat Google berpikir ulang. Apa pendapatmu tentang Google AI?

Deddy K.


Monthly Top