Kalau ngomongin soal minyak, mungkin yang terbayang pertama kali adalah negara-negara besar penghasil minyak seperti Arab Saudi, Rusia, atau Amerika Serikat. Tapi siapa sangka, di Asia Tenggara, justru negara kecil bernama Singapura yang jadi pemain utama. Iya, negara yang luasnya bahkan lebih kecil dari DKI Jakarta itu berhasil jadi salah satu pengendali arus minyak dunia, khususnya di kawasan Asia.
Pertanyaannya sederhana: kok bisa?
Negara yang enggak punya ladang minyak, enggak punya sumur bor, bahkan harus impor bahan mentahnya, tapi bisa jadi pusat perdagangan dan penyulingan minyak terbesar di kawasan. Rahasianya apa, ya? Yuk kita kupas sama-sama.
Singapura bukan negara biasa. Mereka mungkin kecil dari sisi geografi, tapi besar dari sisi perencanaan dan strategi. Mereka sadar betul kalau mereka enggak punya sumber daya alam, maka satu-satunya cara untuk bertahan dan maju adalah dengan menjadi negara jasa dan logistik kelas dunia.
Dan itu mereka buktikan dengan sangat serius. Mulai dari pelabuhan, bandara, sistem keuangan, hingga kawasan industri mereka, semuanya dibuat seefisien dan seterbuka mungkin. Termasuk dalam hal energi—khususnya minyak dan gas.
“Singapura tidak punya minyak mentah. Tapi mereka tahu bagaimana mengelola, memproses, dan menjual minyak dengan lebih untung daripada negara produsen.”
— Ekonom Energi Asia, 2023
Singapura punya beberapa kilang minyak besar yang teknologinya sangat maju, termasuk kilang milik ExxonMobil dan Shell. Kilang-kilang ini punya kapasitas produksi yang sangat besar—bahkan bisa memproses lebih dari 1,5 juta barel per hari.
Bandingkan dengan Indonesia, yang total kapasitas kilang aktifnya hanya sekitar 1 juta barel per hari, dan itu pun tersebar di banyak lokasi serta sebagian besar teknologinya sudah tua.
Salah satunya ada di Pulau Jurong, yang dikenal sebagai jantung industri energi Singapura. Semua terkoneksi, rapi, dan efisien. Enggak heran kalau biaya logistik dan produksi mereka jauh lebih murah.
Ada beberapa alasan kenapa banyak negara, termasuk Indonesia, lebih memilih beli BBM dari Singapura:
“Dalam dunia energi, kepercayaan dan stabilitas itu kunci. Dan Singapura berhasil jadi rumah aman untuk semua transaksi energi Asia.”
— Pelaku industri migas Indonesia
Salah satu yang menarik, Singapura bisa mengekspor BBM ke berbagai negara tanpa punya sumur minyak sendiri. Mereka impor minyak mentah dari negara lain, olah di kilang sendiri, lalu ekspor lagi dalam bentuk BBM siap pakai, petrokimia, atau turunan lainnya.
Secara teknis, ini mirip konsep "refinery hub", di mana mereka jadi pusat penyulingan dan distribusi kawasan. Mereka juga main di LNG, petrokimia, dan bahkan energi terbarukan. Bisa dibilang, mereka itu bukan produsen energi, tapi produsen nilai tambah.
Sementara Singapura jago mengolah dan menjual, Indonesia malah masih sibuk impor. Padahal kita punya ladang minyak sendiri, kilang sendiri, bahkan pasar domestik yang besar.
Masalahnya ada di efisiensi dan manajemen. Kilang kita kebanyakan sudah tua dan belum di-upgrade. Selain itu, biaya logistik, perizinan, dan distribusi dalam negeri masih rumit. Alhasil, secara hitung-hitungan, kadang beli dari Singapura jadi lebih cepat dan murah.
Ironis memang.
Selain sebagai hub perdagangan dan penyulingan, Singapura juga menjadi tempat berkembangnya banyak riset dan pelatihan energi. Pemerintahnya bekerja sama dengan universitas dan sektor swasta untuk mengembangkan teknologi efisiensi energi, hidrogen, serta teknologi carbon capture.
Mereka sadar bahwa minyak bumi mungkin akan ditinggalkan suatu hari nanti, jadi sekarang mereka sedang transisi ke energi bersih.
Karena kita terlalu bergantung pada Singapura, kita jadi kehilangan kedaulatan energi. Setiap perubahan harga, krisis global, atau bahkan gangguan logistik di Singapura bisa berdampak langsung ke Indonesia.
Misalnya saat kilang mereka overload atau kapal tanker tersendat, stok BBM di Indonesia bisa menipis. Dan ini bukan cuma teori, tapi sudah sering terjadi—terutama di daerah-daerah yang pasokannya rawan.
Makanya, banyak pihak mendesak agar Indonesia tidak lagi terlalu bergantung pada satu negara saja, sebaik dan seaman apa pun negara itu.
Bisa, kalau kita mau dan serius. Indonesia punya modal yang besar: sumber daya, pasar domestik, dan tenaga kerja. Yang kurang tinggal sistem yang efisien dan tata kelola yang bersih.
Langkah-langkah yang bisa diambil misalnya:
“Kita enggak harus jadi Singapura. Tapi kita bisa belajar dari cara mereka membangun sistem energi yang efisien dan kredibel.”
— Analis kebijakan energi, Jakarta
Singapura membuktikan bahwa ukuran negara bukan penentu kekuatan energi. Yang penting adalah strategi, sistem, dan konsistensi. Indonesia harus belajar dari sini. Kita punya semuanya, tinggal dirapikan dan dikelola dengan baik.
Daripada terus bergantung, lebih baik kita jadi pemain utama di rumah sendiri. Kalau Singapura bisa berdiri tanpa sumber daya, masa kita yang kaya tambang dan lautan malah terus beli dari mereka?
Waktunya Indonesia naik kelas, bukan cuma sebagai produsen minyak mentah, tapi juga sebagai pengolah dan pengendali pasarnya sendiri.