Indonesia dan Malaysia adalah dua negara bertetangga yang serumpun, baik secara budaya maupun sumber daya. Keduanya kaya akan cadangan migas, sama-sama punya BUMN energi raksasa, dan sama-sama pernah mengalami pasang surut di sektor minyak dan gas. Tapi lucunya, saat bicara soal kinerja perusahaan migas negara, nasib mereka justru seperti bumi dan langit.
Di satu sisi, ada Petronas, BUMN Malaysia yang namanya harum di kancah global. Keuntungan triliunan ringgit, ekspansi ke berbagai benua, bahkan punya tim Formula 1 sendiri. Di sisi lain, ada Pertamina, BUMN Indonesia yang juga besar, tapi kerap jadi sorotan karena kebakaran kilang, proyek molor, hingga isu inefisiensi yang enggak habis-habis.
Lalu apa yang membedakan keduanya? Padahal sama-sama “anak kandung negara.” Mari kita ulas secara santai tapi tuntas.
Dari sisi aset dan skala operasi, Pertamina dan Petronas sebenarnya tak terlalu jauh berbeda. Tapi saat melihat laba bersih, jurangnya terasa.
Sebagai gambaran:
Artinya? Keuntungan Petronas sekitar 5–6 kali lipat lebih besar dari Pertamina, padahal keduanya beroperasi di kawasan dan sektor yang sama.
“Petronas mampu menghasilkan profit besar karena fokus pada efisiensi, teknologi, dan ekspansi ke pasar global. Sementara Pertamina masih disibukkan dengan urusan dalam negeri yang kompleks.”
— Pengamat energi ASEAN
Petronas sejak awal memang diarahkan sebagai perusahaan global. Mereka tak hanya mengelola blok-blok migas di dalam negeri, tapi juga aktif mencari peluang investasi di luar Malaysia. Mereka bahkan memproduksi dan menjual LNG ke berbagai negara.
Struktur organisasi Petronas sangat ramping dan profesional. Mereka beroperasi dengan model korporasi independen, meski sepenuhnya milik negara.
Pertamina justru memikul banyak tugas pelayanan publik (PSO), seperti menyediakan BBM subsidi, menjangkau pelosok, dan menjalankan kebijakan harga.
Secara bisnis, ini membuat beban operasionalnya lebih berat dan otomatis menekan profitabilitas.
Petronas dikenal disiplin dan profesional dalam manajemen proyek dan pelaporan keuangan. Mereka juga lebih terbuka dalam struktur holding dan evaluasi kinerja.
Sementara Pertamina kerap dikritik karena:
“Kebocoran dan inefisiensi itu musuh utama BUMN. Sayangnya, Pertamina masih jadi korban dari warisan birokrasi dan kepentingan politik.”
— Ekonom publik, Jakarta
Pertamina masih harus menanggung beban subsidi besar. Harga BBM yang kamu nikmati di SPBU lebih murah dari harga pasar, dan selisihnya dikompensasi pemerintah.
Masalahnya, kadang kompensasi ini datang terlambat. Beban kasnya tetap harus ditanggung oleh Pertamina, yang membuat keuangannya sering keteteran.
Sementara Petronas sudah sejak lama dipisahkan dari fungsi subsidi. Pemerintah Malaysia memberi ruang agar Petronas bisa fokus menjalankan bisnis secara korporat.
Petronas sudah mengelola blok migas di lebih dari 30 negara. Pendapatan dari luar Malaysia menyumbang lebih dari 40% total pendapatannya.
Pertamina memang mulai mencoba masuk pasar internasional—di Irak, Aljazair, Malaysia—tapi skala dan hasilnya belum terasa seperti Petronas.
Coba bandingkan:
Pertamina tentu punya peran nasional yang besar, tapi di level global masih jarang terdengar. Bahkan di dalam negeri, citranya fluktuatif tergantung isu terkini.
Bisa, tentu saja. Tapi butuh reformasi yang mendalam dan konsisten. Berikut beberapa langkah kuncinya:
“Kalau terus jadi alat politik, BUMN sebesar apa pun akan sulit untung. Tapi kalau dijalankan profesional, Indonesia punya peluang besar.”
— Mantan direktur BUMN energi
Petronas dan Pertamina lahir dari semangat yang sama—membangun kemandirian energi bangsa. Tapi dalam perjalanannya, nasib mereka berbeda jauh. Bukan karena satu lebih hebat dari yang lain, tapi karena satu dibebani terlalu banyak urusan domestik, sementara yang lain lebih bebas bertindak sebagai korporasi global.
Bukan berarti Pertamina harus jadi Petronas. Tapi banyak pelajaran yang bisa diambil:
Kalau Malaysia bisa, Indonesia pasti juga bisa. Tinggal kemauan dan keberanian untuk memperbaiki rumah sendiri.